Minggu, 07 Agustus 2011 0 komentar

Sejarah Kesultanan Bima


Siapa yang tidak mengenal Bima? Persona yang satu ini sangat terkenal dalam dunia pewayangan sebagai salah satu keluarga Pandawa. Sifanya kasar dan keras, namun teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Namun, adakah yang mengenal daerah Bima yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa?


Mari saya perkenalkan tentang daerah saya yang bernama Bima yang sampai saat ini masih dipertanyakan, kata “Bima” sendiri berasal dari mana? Karena nama asli daerah saya adalah “Mbojo”, yang berasal dari kata “babuju” atau tidak rata, sebagai gambaran daerah Bima yang dipenuhi gunung dan bukit. Bila merunut legenda dan dipercayai hingga kini, “Bima” berasal dari nama raja pertama, Sang Bima. Ada juga yang mengatakan bahwa Bima berasal kata dari “bismillaahirrohmaanirrohiim”, merunut budaya Bima yang sejak manjadi Kesultanan Bima sungguh sangat Islami.

Orang Bima dan Dou Mbojo

Salah satu keunikan yang mungkin tidak ada di Indonesia, Bima sendiri merupakan bahasa Indonesia dari Mbojo (ini secara sederhana saja). Bila kita menggunakan bahasa Indonesia, kalimat “orang Bima” adalah yang paling tepat, bukan “orang Mbojo”. Begitu pun sebaliknya, bukan “dou Bima”, melainkan “dou Mbojo”. Intinya, saat kita menggunakan bahasa Indonesia, untuk merujuk “Bima”, kita harus tetap menggunakan kata “Bima”. Namun bila kita menggunakan bahasa daerah Bima, untuk merujuk”Bima”, kata yang tepat adalah “Mbojo”. Are you dong?

Tipikal orang Bima sendiri sepertinya mirip dengan Sang Bima dari Pandawa; keras, kasar, dan tegas. Tidak ada yang namanya pakewuh, dan selal mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, suka atau tidak suka. Namun, “pengelompokan” tipikal seperti ini akhirnya membuat orang Bima sendiri terperangkap dalam sebuah pemikiran bahwa Bima memang kesar dan kasar sehingga memicu sebuah pembenaran untuk melakukan tindak anarkis.

Legenda, City-State, dan Sang Bima

Menurut Kitab Bo’, kitab sejarah Kesultanan Bima, pada awalnya Bima terdiri dari beberapa daerah yang masing-masing diketuai oleh pemimpin yang disebut Ncuhi. Setiap daerah menamakan dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pun pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal yang menguasai kepemerintahan tanah Bima.

Hal ini mengingatkan saya pada sistem pemerintahan yang berkembang di Yunani, city-state. Bedanya, para Ncuhi tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan selalu berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja yang dibutuhkan bagi perkembangan tanah Bima serta agar tidak terjadi perang saudara di antara daerah-daerah yang dipimpinnya.

Hingga satu ketika, menurut legenda yang tertulis dalam Kitab Bo’, datanglah seorang pengembara dari Jawa bernama Bima, seorang Pandawa yang melarikan diri dari pemberontakan di Majapahit ketika itu. Sang Bima pertama kali berlabuh di Pulau Satonda (silahkan googling tentang pulau ini. Anda akan tahu bagaimana indahnya) dan akhirnya menikah dengan seorang puteri di sekitar wilayah itu. Mengetahui akan hal ini, para Ncuhi akhirnya memutuskan untuk menawarkan posisi sebagai Raja Bima bagi Sang Bima. Sang Bima menerima, namun beliau tidak segera memimpin karena akan segera kembali ke Majapahit. Beliau kemudian menawarkan anaknya nanti yang akan memimpin Bima. Para Ncuhi menerima dan menanti kedatangan anak Sang Bima untuk memimpin mereka.

Kisah awal mula Bima sampai sekarang masih simpang siur, karena satu-satunya dokumen sejarah yang masih ada hanyalah Kitab Bo’, yang seperti kita-kitab lainnya dari zaman itu, penuh dengan percampuran legenda serta hal-hal gaib serta lebay untuk memberi kesan bahwa pemimpinnya adalah seorang yang hebat, sakti mandraguna. Namun menurut saya sendiri, Bima, sebagai salah satu wilayah kekuasaan Majapahit, tentu sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Jawa. Sebagai daerah yang mempunyai teluk teraman dan juga menjadi salah satu dari segitiga lumbung padi Indonsia Timur bersama Gowa dan Ternate, hubungan dagang dengan orang daerah lain sangatlah sering. Dalam hal budaya, khususnya bahasa yang digunakan saat itu, sangatlah mirip dengan bahasa Jawa Kuno.

Pengaruh Majapahit dan Kerajaan Misterius

Raja pertama Bima mempunyai hubungan kekeluargaan dengan orang Jawa, setidaknya menerima pengaruh yang sangat lama oleh kebudayaan Jawa, khususnya Majapahit. Ini dibuktikan dengan kemiripan bahasa kuno yang dipakai oleh kedua daerah serta berkembangnya agama dan budaya Hindu dari Majapahit, yang akhirnya musnah tergantikan oleh kebudayaan Islam. Ketika pemerintahan masih dipimpin oleh para Ncuhi dalam sistem “semacam” city-state, sistem kepercayaannya merupakan animisme-dinamisme. Sistem ini akhirnya berubah ketika dibentuk sebuah kerajaan, kebudayaan Hindu masuk, ditandai dengan adanya sebuah kuil sebagai tempat upacara pengangkatan raja. Selain itu, menurut seorang dosen, sistem kerajaan di Indonesia dibawa oleh kebudayaan Hindu, dan sistem kerajaan yang ada di Bima bisa dipastikan dibawa oleh orang Hindu yang berasal dari Jawa (Majapahit).

Tapi pemikiran ini sendiri bisa dibantah. Sebuah artikel yang pernah saya baca mengatakan, jauh sebelum Kerajaan Bima terbentuk, terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Kalepe yang mendiami daerah pedalaman Bima yang kemudian hancur oleh pemberontakan para Ncuhi. Rakyat kerajaan ini kemudian menyebar, melarikan diri, dan puing-puing istana kerajaan kuno ini masih ada sampai sekarang.

Pertanyaannya, menurut teori, sistem kerajaan dibawa oleh orang Hindu. Apakah Kerajaan Kalepe menganut agama Hindu, siapa yang menyebarkannya hingga ke pedalaman, mengapa para Ncuhi masih menganut animisme-dinamisme, inikah inti dari pemberontakan Ncuhi? Banyak pertanyaan yang masih harus dikuak sebelum menentukan sejarah Bima yang sesungguhnya, terutama mengenai Kerajaan Kalepe yang masih dianggap sebagai kerajaan pertama di Bima yang saat itu terbesar di Pulau Sumbawa dan daerah kekuasaannya hingga mencapai Manggarai di NTT.
Dari hasil penelitian sejarah, Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun.

Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia.

Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai.

Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah
2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan
3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat
4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara
5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.

Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara.

Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu :
1. Darmawangsa
2. Sang Bima
3. Sang Arjuna
4. Sang Kula
5. Sang Dewa.

Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda.

Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana.

Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.

Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah :
- Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara.
- Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja. Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara.
Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana.

Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh :
1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara.
2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan.
3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.
 
;